Tuesday 30 June 2009

Mursyid dan Penting Baiat


Macamana hendak mengenali seseorang samada bertahap "Mursyid" dan apa peranannya kepada seseorang dalam peribadatan bersuluk atau beruzlah itu?.Dan apa pentingnya berbaiat dengan "Musyid" itu.
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa “Allah adalah guru sejati bagi setiap mukmin”. Artinya sesungguhnya guru sejati kita dalam menuju-Nya hanyalah Dia. Bukan seorang makhluk siapapun itu. Dia yang akan membimbing dan Dia pula yang akan memberi petunjuk, setahap demi setahap dalam jatuh bangun menuju-Nya. Untuk itulah dikatakan dalam QS 5:16, bahwa Dia hanya akan memberi petunjuk kepada orang yang menuju ke-ridlaan-Nya. Hal ini dipertegas dalam QS 29:69.

Namun demikian rupanya bersuluk (berjalan menuju Allah) sangatlah berbahaya. Imam Al Ghazaly mengatakannya sebagai jalan yang curam, licin lagi gelap.

Itulah mengapa Rasulullah SAW berkata: “Seandainya seseorang tahu betapa berbahayanya berjalan di tengah malam tentu ia tidak akan berjalan sendirian”.

Curam, licin dan gelap nya perjalanan tersebut, bertambah “berbahaya” dengan selalu mengintainya syaithan. Sungguh syaithan adalah musuh yang nyata, dan mereka tidak pernah ridla ketika ada seorang hamba ingin mendekatkan diri kepada Allah. Dengan berbagai cara - dari yang kasar sampai yang sangat halus - dilakukannya untuk menyesatkan manusia agar tidak dapat kembali ke Shirath Al Mustaqiim (jalan Allah).

Karenanya Rasulullah SAW pernah pula bersabda bahwa syaithan mengintai dan akan menerkam anak domba yang lepas dari rombongannya.

Kepentingan kita bertemu dengan seorang mursyid adalah:

1. Sebagai pemandu, seperti pemandu jalan ditengah gelapnya malam.

Mungkin akan timbul pertanyaan, kenapa perlu dipandu, bukankah cukup Allah sebagai pembimbing? Jawabannya adalah, bahwa sebuah proses suluk seperti proses pertumbuhan seorang manusia. Lahir sebagai bayi kemudian semakin besar, besar dan dewasa. Ketika si anak masih bayi, ia belum dapat membedakan antara sebuah bola pimpong yang berwarna merah jambu dengan kue apem yang sama warnanya.

Demikian pula dalam bersuluk. Ketika seorang mulai tekun dalam taubatnya dan terbangunlah 3 sendi Ad-Diin, Allah Ta’ala akan memberikan rahmat-Nya. Qalbunya mulai dilimpahkan cahaya iman, dan mulailah ia mendapat petunjuk dari Rabb-nya. Namun bak seorang bayi, ia belum dapat membedakan dan belum dapat mengerti arti dari petunjuk-petunjuk tersebut. Karena demikian banyak petunjuk Allah dalam bentuk amtsal (simbol).

Seorang mursyid adalah seorang salik pula yang lebih dahulu berjalan ditengah malam. Bahkan bukan itu saja seharusnya, seorang mursyid adalah seorang yang diberi hak oleh Allah Ta’ala untuk dapat mentakwilkan petunjuk yang diterima oleh sang murid (salik).

Dengan hal inilah seseorang yang baru menapaki jalan ini (suluk), akan dapat lebih efektif dalam menangkap pesan-pesan ilahiyah yang sampai ke qalbunya. Tidak sedikit seseorang yang berjalan menyusuri gelapnya malam suluk seorang diri, menjadi “gila” atau dikatakan oleh masyarakat umum sebagai kondisi “tidak waras”. Sehingga ketika seorang mulai menjalani olah lahir dan bathin (baca: bukan sekedar belajar tentang tashawwuf), sering diperingatkan oleh orang-orang disekitarnya dengan peringatan-peringatan seperti itu: “Awas nanti gila”, “Awas nanti miring”, dsb.

Kenapa demikian?

Hal ini terjadi, karena dalam tahap-tahap awal suluk yang benar, disamping Allah Ta’ala akan memberikan petunjuk langsung kepada qalbunya, Allah Ta’ala juga akan membongkar semua dosa, hawa nafsu dan syahwat serta obsesi-obsesi yang dibawanya. Dalam proses pembongkaran tersebut, maka hawa nafsu dan syahwat serta obsesi seringkali muncul demikian jelas dan nampak, sehingga seringkali dianggap sebagai petunjuk Allah Ta’ala. Tidak jarang pula syaithan-syaithan mengerubunginya seperti lalat merubungi makanan yang menarik perhatiannya, sehingga mewujud dengan jelas pulalah apa yang ditiupkan oleh syaithan tersebut.

Seorang Mursyid yang diberi hak oleh Allah untuk membimbing seorang manusia menuju Allah, diberi ‘Nur Ilmu’ untuk membantu si salik dalam membedakan mana yang petunjuk Allah, mana yang hawa nafsu atau syahwat atau obsesi dan mana yang dari syaithan. Sedikit demi sedikit seorang salik bayi didampingi oleh sang salik dewasa yang mursyid, tumbuhlah jiwa nya semakin besar dan dewasa. Mulailah akal qalbu (lubb) nya memancarkan cahaya. Mulailah lubb-nya dapat membedakan mana petunjuk Allah dan mana yang bukan.

Namun demikian persis seperti seseorang yang tumbuh, proses tersebut bertahap. Sampai sebuah proses ketika si salik mengenal dirinya, barulah ia dapat dilepas oleh sang Mursyid.
Nur Ilmu adalah buah dari ketaqwaan seseorang.

Pohon taqwa yang subur, akarnya menghujam ke tanah dan rantingnya menjulang ke langit akan berbuah sepanjang musim (QS 14:24-25).

Nur Ilmu adalah cahaya di sebelah kanan, sedangkan Nur Iman adalah cahaya di hadapan (QS 66:8).

Nur Ilmu buat seorang mukmin adalah bagaikan senjata buat seorang prajurit. Pada dasarnya semua manusia yang hadir di dunia ini mempunyai misinya masing-masing. Ketika seorang mengetahui dan berjalan sesuai dengan misi yang telah ditentukan oleh Allah, maka sesungguhnya ia telah menjadi khalifah (wakil) Allah di muka bumi. Dan seorang yang tidak pernah tahu apa misi-nya, sesungguhnya ia tidak dapat dikatakan sebagai khalifah atau perwakilan Allah di muka bumi ini.


Sebagai seorang Prajurit, misinya berbeda-beda. Ada prajurit infanteri, ada prajurit arteleri, ada prajurit kaveleri, dsb. Senjata mereka berbeda-beda. Demikian pula dalam menjalankan misi dari Allah di muka bumi ini. Seseorang akan diberi senjata sesuai dengan bidang misinya masing-masing. Senjata untuk menjalankan misi dari Allah itulah yang disebut “Nur Ilmu”.


Seorang yang diberi misi oleh Allah Ta’ala untuk membimbing manusia dalam menuju-Nya, diberi Nur Ilmu sesuai dengan wilayah tugasnya masing-masing. Walaupun seseorang telah “mengenal dirinya”, namun misinya bukan membimbing manusia, maka dia bukanlah seorang mursyid, karena ia tidak dibekali senjata untuk menjadi mursyid.


Lihatlah bagaimana diantara 4 sahabat utama Nabi SAW, Ali R.A lah sebagai “kunci ilmu”. Dan dari beliaulah bermuara demikian banyak thariqah-thariqah yang sekarang ada. Lihatlah bagaimana dari para wali sanga hanyalah Sunan Ampel dan Kalijaga yang membimbing “suluk” manusia. Karena hanya beliau-beliau lah yang mempunyai tugas sebagai mursyid.


Tidak semua orang shalih yang “mengenal diri” nya adalah mursyid. Bahkan tidak semua wali Allah adalah seorang mursyid. Mursyid adalah sebuah fungsi sedangkan Wali adalah sebuah tingkat jabatan tugas.


Ada seorang Wali yang mursyid, ada seorang wali yang tidak bertugas sebagai mursyid dan banyak mursyid yang tidak dalam tingkatan wali. Seorang wali yang mursyid membawa sebuah thariqah tertentu. Dengan sebuah metoda yang Allah sediakan untuk zaman itu. Untuk itulah kenapa kita mengenal demikian banyak thariqah dalam Islam. Ada thariqah Qadiriyah (Wali Mursyidnya : Syaikh Abdul Qadir Jailani) ada Thariqah Naqsabandiyah, dsb.

Thariqah-thariqah tersebut diturunkan Allah melalui para wali-waliNya sesuai dengan kebutuhan zamannya. Ketika berubah zamannya, maka Allah Ta’ala akan mengutus kembali wali-Nya untuk membawa sebuah metoda mendekatkan diri kepada-Nya. Bahkan untuk zaman ini!


Sebuah pertanyaan, “Bukankah syariah Muhammad telah sempurna, lalu apa yang mereka (para wali yang mursyid tersebut) ajarkan?”


Jawabnya adalah: Dengan hadirnya Muhammad SAW ad-diin telah sempurna. Dan sesungguhnya Ad-Diin bukan hanya syariat lahiriah, tetapi tauhid dan syariah bathiniah.

Ketika pada sebuah zaman, salah satu dari 3 sendi tersebut tanggal, maka Allah Ta’ala akan mengutus utusan-Nya untuk melengkapi hal yang tanggal tersebut.


Sekarang ini memang telah lengkap di hadapan kita syariat Islam yang dibawa Muhammad SAW. Namun seringkali kita tidak sadar bahwa ke-agama-an Muhammad SAW bukan hanya syairat lahiriah tetapi tauhid dan syairat bathiniah. Ketika kita sekarang ini merasakan bahwa ibadah-ibadah ritual kita kering tidak membawa kedekatan kita kepada Allah, walaupun kita rajin dan istiqamah dalam menjalankannya, ini adalah sebuah tanda bahwa ada satu sendi yang tanggal dalam kita beribadah.


Para Wali yang Mursyid tersebut hadir dengan metodaa yang sesuai dengan kondisi zamannya, melengkapi sendi yang hilang dan menghancurkan thaghut yang mengemuka pada zaman itu.


Seperti juga bersekolah, ada tingkatan PMR, SPM, STPM, University, dst. Demikian pula gurunya, ada guru SPM, STM, Diploma, University, dst. Demikianlah mursyid.


Ada seorang mursyid untuk tingkatan PMR, SPM, STPM, Univeristy, dst. Seorang manusia yang mempunyai potensi diri pada tingkatan PMR akan efektif bila dibimbing oleh seorang mursyid yang berada pada tingkatan tersebut. Namun tidak demukian dengan seorang manusia yang mempunyai potensi diri pada tingkatan Universitas, ia tidak akan efektif bila dibimbing oleh seorang mursyid untuk tingkatan SPM.


Namun jangan kuatir. Allah Maha Kuasa. Masing-masing mursyid yang hak tersebut, saling mengenal satu sama lain, dan mengerti dimana tingkat dan posisinya masing-masing. Untuk itu kalau kita membaca kisah-kisah orang shalih pada zaman dahulu, akan terlihat bahwa seorang guru memerintahkan muridnya untuk pindah belajar kepada guru yang lain. Silakan baca kisah-kisah di Buku “Warisan para Awliya”, kita akan mendapatkan gambaran tersebut.

Seorang mursyid yang bukan wali, umumnya hanya meneruskan metoda yang dibawa oleh seorang mursyid yang wali. Namun tidak sedikit sekarang ini “predikat” mursyid diberikan seperti layaknya pemlihan putera mahkota dari seorang raja. Sehingga tidak sedikit sekarang ini mursyid tinggallah sebuah jabatan turun temurun yang hilang dimensi spiritualnya.

Namun juga banyak orang-orang shalih yang disebut oleh murid-muridnya mursyid, namun sesungguhnya bukan bermisi sebagai mursyid, sehingga tidak dilengkapi senjata untuk membimbing manusia menuju-Nya, dan tetap mengajarkan murid-muridnya tentang agama dalam batas hak-haknya karena belum dikenal olehnya seorang Mursyid yang hakiki.


Apakah ada perbedaan antara seorang shalih yang mursyid dengan yang tidak mursyid, dalam interkasinya dengan sang murid?


Jawabnya: Ada, bahkan sangat besar. Seorang shalih yang mursyid dibekali Nur Ilmu oleh Allah dalam membimbing manusia. Sedang seorang shalih yang bukan mursyid tidak.


Bisa saja seorang shalih yang bukan mursyid mentakwilkan petunjuk dari Allah yang diterima oleh sang murid. Dan dapat pula mengklasifikasikan mana yang obsesi, hawa nafsu, syaithan dan mana yang petunjuk. Namun karena ia tidak dilengkapi oleh Allah Ta’ala Nur Ilmu dalam bidang “membimbing”, akan terjadi ia mentakwilkan semua petunjuk tersebut tanpa rambu-rambu. Semua dibuka, sehingga dapat terjadi seorang murid yang belum “kuat” jiwanya, malah akan menjadi sakit dengan takwil tersebut.


Ada terjadi seorang murid mendapatkan petunjuk dari Allah Ta’ala. Kemudian karena kesempatannya yang sempit, ia tidak menanyakan petunjuk tersebut kepada sang Mursyid, namun kepada seorang shalih yang bukan mursyid yang dikenalnya (juga dikenal oleh sang Mursyid). Dengan tanpa beban orang shalih tersebut menjelaskan bahwa petunjuk itu adalah haq dari Allah, dan takwilnya adalah: “Bahwa ia kelak menjadi salah seorang dari Wali Allah”. Padahal jiwa sang murid ini barulah jiwa seorang bayi yang belum dewasa, dan masih rapuh terhadap goncangan kesombongan dan ke-aku-annya. Dan hal itu berakibat cukup fatal dalam proses perjalanannya.


Mungkin apabila ia bertanya kepada sang Mursyid, Sang Mursyid hanya akan mengatakan: “Nanti saja, sekarang ini belum penting untuk kamu”. Hal ini terjadi karena Sang Mursyid diberi perangkat oleh Allah Ta’ala untuk menjelaskan mana yang perlu dan mana yang tidak buat seorang murid.


2. Wakil Allah dalam Bidang Pertaubatan


Kepentingan kita bertemu dengan seorang mursyid yang hakiki yang kedua adalah, bahwa ia adalah seorang yang menjadi wakil Allah Ta’ala dalam bidang pertaubatan.

Kenapa dalam banyak hadits dikatakan bahwa ketika seseorang bertemu dengan Rasulullah SAW, kemudian bersaksi bahwa “Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, maka kontan dijamin masuk surga? Hal ini karena saat itu Muhammad SAW adalah wakil Allah dalam bidang pertaubatan.


Seseorang yang mengakui Muhammad SAW adalah utusan Allah dan bersedia dalam bimbingannya, maka sesungguhnya Allah Ta’ala yang mendelegasikan “Al Ghafuur”-Nya kepada Muhammad SAW, dan mengampuni dosa-dosa orang tersebut.


Demikian pula ketika kita bertemu dengan seorang Mursyid yang hakiki, kita bersaksi bahwa “Tidak ada Tuhan Selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah”, dan berjanji bahwa mulai saat itu akan menuruti segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan disaksikan oleh seorang wakil-Nya, maka Allah Ta’ala akan mengampuni dosa orang tersebut. Lihatlah QS 2:129, 2:151 dan banyak lagi yang lainnya.


Dan proses pengampunan Allah Ta’ala ini akan demikian dirasakan olehnya sebagai hal yang nyata. Sangat nyata, senyata matahari di siang bolong! Petunjuk langsung yang didengung-dengungkan di Al Qur’an akan diberikan kepada seorang mukmin, akan menjadi bukti, bahwa inilah ayat-ayat Allah.


Kalaulah kita dibimbing oleh seseorang yang dikatakan mursyid, namun sudah setahun bahkan lebih tidak pernah tahu apa itu “fana”, ini adalah sebuah tanda tanya besar, apakah memang ada persoalan dalam diri kita, ataukah ia “mursyid-mursyidan”, atau dia memang seorang shalih namun bukan seorang mursyid.


Baiat atau janji setia pada dasarnya adalah sebuah janji setia diri kita kepada Allah Ta’ala (QS 48:10), untuk bertaubat kepada-Nya. Namun dengan dibawah persaksian seorang wakil-Nya dengan tanpa disaksikan oleh wakil-Nya akan berbeda implikasinya.


Banyak orang yang takut dengan kata “baiat”, karena gambaran-gambaran tentang baiat yang menakutkan. Pada dasarnya baiat adalah janji setia kita kepada Allah, sebagai sebuah persaksian bahwa tiada “ilah” termasuk hawa nafsu dan syahwat kita, kecuali Allah. Sebuah perjanjian bahwa kita bertaubat kepada-Nya. Syairat “baiat” ini sesungguhnya telah ada sejak zaman Nabi Yahya A.S. Orang Yahudi dan Nasarani mengenalnya dengan sebutan Baptis.


Sekarang ini, wajah baiat yang identik dengan pergerakan Islam, dimana orang yang mengundurkan diri dari pembaiatan akan dikejar-kejar bahkan sampai di bunuh, adalah wajah-wajah menakutkan yang menempeli kata baiat.


Padahal dalam terminologi taubat, baiat ini sangat bergantung kepada Allah. Bahkan seorang mursyid yang hakiki benar-benar menyadari, bahwa karena seorang murid berjanji kepada Allah, apabila ia melanggar, maka Allah Ta’ala yang akan menegurnya. Dan apabila mereka memenuhi janjinya maka Allah pun akan memenuhi janji-Nya pula kepada mereka (QS 2:40).


Baiat adalah sebuah perikatan diri kita dengan Allah. Sang Mursyid yang hakiki hanyalah sebagai seorang saksi. Bahkan apabila seorang mengikat sebuah perjanjian kepada Allah dengan disaksikan seorang mursyid yang hak, maka pada penduduk langit akan turun ikut menyaksikannya dengan gembira dan haru. Dan mereka yang akan menjadi saksi bagi kita di Yaumil Akhir nanti.


Kenapa untuk berjanji kepada Allah perlu disaksikan seorang Mursyid? Manusia adalah makhluk lahiriah dan bathiniah. Dan sisi lahiriah kebanyakan manusia jauh lebih kuat dibandingkan sisi bathiniah. Allah Ta’ala mendelegasikan “Al-Ghafuur” nya kepada seorang wakil-Nya, adalah untuk memperkuat keyakinan diri seorang manusia yang lahiriah untuk sedikit demi sedikit terbangun bathiniahnya.


Cobalah apabila kita berinteraksi dengan seorang shalih, yang Allah bukakan “hijab” sehingga terbukalah apa-apa yang kita lakukan apakah itu baik atau buruk baginya. Ketika kita melakukan sebuah kesalahan, dan ada sebuah pertemuan dengan orang shalih tersebut, timbullah “rasa malu” kita kepada orang shalih tersebut. Karena dalam persepsi kita ia tahu apa-apa yang kita lakukan.


Kenapa kita tidak malu kepada Allah, tetapi kepada orang tersebut? Ini adalah sebuah bukti bahwa lahiriah kita masih lebih kuat dari bathiniah kita. Dengan dibimbing seorang mursyid, sedikit demi sedikit dibangunlah bathiniah kita kepada Allah. Bukan lagi sekedar lahiriah.

Yang awalnya timbul rasa malu dsb kepada mursyid kuat, sedikit demi sedikit seharusnya bergeser, timbul rasa malu hanya kepada Allah, bukan lagi kepada seorang manusia.


3. Pendamping Membangun Jiwa dan Penjaga dari Gangguan Syaithan


Fungsi lain seorang mursyid sebagai hak yang Allah Ta’ala berikan kepadanya adalah pendamping membangun jiwa. Ketika seorang murid riyadhah (olah bathin) dalam pendampingan sang mursyid, sesungguhnya secara bathiniah jiwa sang mursyid membantu proses keluarnya jiwa sang murid dari bungkus jasad. Sehingga akan mudah fana’ dalam proses olah bathinnya.


Itulah mengapa ketika zaman Rasulullah SAW, sangat keras memerintahkan orang-orang untuk shalat berjamaah dengannya. Karena sesungguhnya ketika seseorang shalat berjamaah dengan Rasulullah SAW, secara bathiniah jiwa Rasulullah SAW membantu mi’raj-nya jiwa para jamaahnya, sehingga terjadilah proses pembangunan jiwa yang sehat.


Demikian pula dengan fungsi seorang mursyid. Sehingga ada di sebuah thariqah yang murid-muridnya tersebar dan jauh dari sang guru, apabila ingin melakukan riyadhah ia menghubungi terlebih dahulu mursyidnya melalui telephone. Ketika Sang murid pergi ke Australia, dan ia ingin melaksanakan riyadhah, ia terlebih dahulu menelpon sang mursyid di Indonesia. Karena walaupun berbeda tempat jiwa sang mursyid ikut mendampinginya, dan membantunya untuk mi’raj membangun jiwanya.


Sekiranya seseorang menyaksikan, ketika ia sedang sungguh-sungguh menghadapkan wajah kepada Allah Ta’ala untuk bertaubat, sesungguhnya syaithan dan para tentaranya mengintai dengan tajam seluruh aktivitas kita. Ketika lengah ia akan masuk dan meniupkan angan-angan kosong yang dapat menghancurkan jiwanya. Atau bahkan seringkali syaithan beserta pasukannya “memegangi” jiwa orang tersebut agar tidak bisa fana’, sehingga tidak terbangunlah jiwanya. Mursyid akan mendampingin muridnya dari intaian syaithan. Dengan izin Allah Ta’ala ia menjaganya dari serbuan syaithan.


Bahkan ada sebuah thariqah yang dibimbing oleh seorang mursyid, kebanyakan muridnya tidaklah intens dalam berinterkasi dengan alam jin, dsb sebagai sesuatu yang cukup intens ditemui oleh para pejalan ruhani. Namun pengetahuan tentang Al Qur’an demikian dahsyat terbuka bagi mereka.


Hal ini salah satunya disebabkan oleh hak yang diberikan Allah kepada sang Mursyid. Sang Mursyid menjaga murid-muridnya dari hal-hal yang kurang faedahnya untuk suluk (seperti berinteraksi dengan alam jin, mengobati orang sakit, dsb), tetapi membuka hal-hal yang berfaedah untuk suluknya. Sehingga sang murid dipagari agar tidak terperosok hanya berputar-putar di taman bunga, padahal tujuannya masih jauh dari apa yang dijalaninya.

4. Monitoring Umpan Balik Proses Perjalanan

Salah satu Nur Ilmu yang diberikan Allah kepada Sang Mursyid yang hakiki, adalah ia dapat memantau proses perkembangan jiwa murid-muridnya. Naik turunnya bahkan nilai-nilai deskriptifnya. Katakan misalnya nilai puncak adalah 10, sang mursyid mendapatkan pengetahuan pasti bahwa sang murid proses perkembangan jiwanya pada bulan ini adalah 1, bulan berikutnya adalah 2, bulan berikutnya turun ke 0.


Dengan monitoring dan umpan balik inilah seorang murid dapat mawas diri terhadap proses suluknya. Mungkin kita pernah membaca penjelasan Jalaluddin Ar-Rumi dalam bait puisinya. Bahwa orang berjalan jiwanya dari tingkatan mineral, tumbuhan, hewan, manusia, malaikat dst. Ini adalah sebuah parameter-parameter monitoring darinya selaku seorang mursyid yang hakiki.


Mencari Mursyid Yang Hakiki


Sungguh sulit bila ditanya, bagaimana ciri mursyid yang hakiki. Karena setiap zaman berbeda thaghutnya, maka akan berbeda pula karakternya. Dan disinilah filter dari Allah Ta’ala untuk mengklasifikasikan mana orang yang benar menuju keridlaan-Nya dan mana yang tidak.

Satu hal yang tidak boleh hilang dari kita, adalah pengharapan diri kita kepada Allah Ta’ala, dan tulus jalan kita hanya menuju-Nya.


Temuilah orang-orang yang orang katakan sebagai orang shalih. Ikutilah dengan seksama ajaran-ajarannya. Jangan buru-buru menyimpulkan dengan persepsi-persepsi agama kita sekarang, walaupun tampaknya ada dalilnya di Al Qur’an dan Hadits. Tanyakanlah kepadanya apabila ada ketidak mengertian dari kata-kata penjelasannya, dan hubungannya dengan dalil-dalil di Al Qur’an atau Hadits. Jangan takut tersesat, karena apabila tulus tujuan kita kepada-Nya, maka Dialah yang akan menjaga kita.


Selamat mencari…


Aku kutip dari tulisan Saudara Yoedha Pamungkas yang boleh diikuti di
http://tatahati.blogsome.com/2008/11/05/mursyid-dalam-bersuluk/Bottom of Form
(mohon izin berlaku tambahan pada ilustrasi gambar, tulisan dan lain2 bersesuaian di Malaysia)














































No comments:

Post a Comment